Pesan-Pesan Subliminal dan Penyair Sebagai Medium


Judul buku : Pemanggil Air, kumpulan puisi
Penulis : Jamil Massa
Penerbit : Basabasi
Cetakan I : Februari 2017
Hal : 112 hal
Saya bukan bulan
bukan bunga pun
tapi biarkan saya berjalan bersamamu
agar kau tidak sendirian menatap burung-burung,
gunung-gunung, dan awan yang sendirian itu.
Ah, siapa yang sendirian?
Saya punya bayang-bayang.
(Mabuk Bersama Li Bai)
Jamil Massa dalam pengantar pada buku ini menyebut tanggomo dan wungguli,yang merupakan dua dari banyak langgam tradisi lisan di Gorontalo di samping sumber-sumber lain untuk menuliskan puisi-puisi dalam buku berjudul Pemanggil Air ini. Sementara di awal-awal pengantar, Jamil Massa juga menyatakan bahwa ia menyoal aneka macam isu dengan pelbagai hal, termasuk hikayat. Dua hal yang saling berkait ini menunjukkan bahwa yang Jamil Massa lakukan dalam berpuisi adalah berbicara secara tidak langsung pada isu yang dia rasa, lihat, baca, dan sebagainya yang ingin dia ungkap dengan cara menyandingkan, atau menurut istilahnya: meminjam, dengan sesuatu yang ia tahu.
Tentu saja, hal yang disajikan dalam kumpulan puisi ini sangatlah luas jangkauannya. Karena sebagai manusia tentulah Jamil Massa menyerap beragam informasi yang belum tentu semua orang bisa mengetahui. Saya, misalnya, baru tahu asal usul Danau Limboto setelah membaca kata pengantar buku ini. Artinya, bagi pembaca akan ada upaya lanjut untuk bisa sampai pada permenungan yang telah memantik Jamil Massa untuk menuliskan sebuah puisi.
Namun, puisi kadang memang tidak harus selalu dicari pemantiknya. Pembaca tidak harus mencari jenis kayu apa yang dibakar, tidak harus tahu siapa nama peternak yang mempunyai sapi yang dagingnya diletakkan di atas panggangan untuk kemudian disantap. Meskipun memang bisa saja karena kelezatan dan tekstur dagingnya yang lembut, juicy, dan gurih yang dimakan, pembaca boleh melakukan upaya penelusuran mulai dari dapur sampai pada peternakan untuk memuaskan batin dan pengetahuannya.
Semisal puisi berjudul “Mabuk Bersama Li Bai” yang saya petik di atas. Kita bisa menduga bahwa puisi ini terpantik oleh puisi Li Bai “Yue Xia Du Zhou” (Sendiri Minum di Bawah Rembulan), namun yang belum bisa diduga adalah puisi Li Bai itu digunakan oleh Jamil Massa untuk menyoal isu atau tema apa. Apakah sama seperti Li Bai yaitu kesepian, atau hal lainnya. Jika melihat dua larik terakhir, agaknya bukan kesepian yang ingin disampaikan, tetapi justru bagaimana Jamil Massa menegasikan perkara kesepian itu. Hal itu tercermin pada penolakan pada “bunga” dan “bulan” yang diulang pada awal dua bait pertama puisi itu.
Konsep menyandingkan atau meminjam satu hal untuk membahas satu hal lainnya, jelas tergambar pada puisi berjudul “Dua Hal yang Berbeda.” Jika membaca puisi berjudul “Paguyaman di Kepala Kakekku,” Jamil Massa bukan sekadar mendedah persoalan kenangan tentang kota kecamatan di Gorontalo, melainkan menyuguhkan persoalan lain yang dibungkus dengan kalimat, “Dapatkah kaubacakan puisi untukku?” Ini menunjukkan bahwa ada yang penting terjadi di sana, ada yang harus digerakkan, atau dibangunkan dari kenangan di sana.
Saya teringat kisah dalam novel Salman Rushdie “Harun dan Samudra Dongeng” bahwa aneka macam kisah bisa berkelindan satu sama lain, bisa kita dengar dan sampaikan namun pada akhirnya kebenaran dari dongeng itu harus berdampak nyata bagi kehidupan kita, seperti kembalinya Soraya, ibunda Harun tokoh dalam novel itu, setelah diculik oleh Pak Sengupta. Dalam buku puisi “Pemanggil Air” sebenarnya pintu menuju “hal-hal nyata” dalam setiap puisi Jamil Massa bisa didapatkan di dalam puisi-puisi itu sendiri. Hanya letaknya bisa di judul, bisa di sebuah larik, atau dari hal yang unik yang disebut. Misal pada puisi “Terminal 2F” ada kalimat, “Aku menunggu,” yang diulang, yang seolah menunjukkan bahwa di dalam suatu hubungan (entah percintaan, atau bisnis /pekerjaan) yang perlu dilakukan tidak harus selalu bersifat aktif-reaktif, tetapi juga bisa pasif-namun tetap-reaktif. Pesan subliminal semacam ini bertebaran dalam buku ini. Dan ini mengasyikkan.
Berkenaan dengan – mungkin ini bisa dikategorikan sebagai gaya penulisan – penyandingan ke dua hal tadi, bisa jadi yang perlu diapresiasi adalah bagaimana si penyair menjadi mediumnya. Pada puisi “Tentang Khutulun” misalnya, saya menduga ini berkaitan dengan isu emansipasi wanita atau bahkan gender. Ratu dari Mongolia itu memang berdiri sendiri dengan kisah kehebatannya yang sampai-sampai disebut dalam naskah drama karya Carlo Gozzi sebagai perempuan seperti harimau. Pada puisi itu, Jamil Massa bertindak seolah sebagai Ta Motanggomo (pengisah Tanggomo) yang tidak sekalipun memunculkan aku-lirik dalam puisi itu. Di puisi “Ayat-ayat Cuaca” ia sebagai aku-lirik masuk pada bagian (6) setelah sebelumnya muncul sebagai “kita” di bagian (5).
Keberjarakan yang diatur seperti ini membuat puisi-puisi dalam Pemanggil Air seolah dibagi dua, puisi-puisi yang seperti cerita atau kisah yang dibacakan oleh penyairnya, dan puisi-puisi yang bersangkutan dengan penyairnya. Namun dengan membaca tulisan pada sampul belakang buku ternyata hal ini dilakukan dengan sengaja dengan perkataan, “…saya selalu tergoda untuk tampil sebagai komentator...dst.” Meskipun dengan dasar itu, seharusnya aku-lirik harus lebih sering muncul. Namun barangkali, seperti dugaan saya di atas, kisah-kisah yang tersaji itulah sebenarnya “komentar” Jamil Massa terhadap pemantik awal dari terciptanya puisi itu. Dengan perumpamaan lain, yang perlu disampaikan pada kita tentang kenikmatan sebuah steik bukanlah penjelasan bahwa dagingnya diambil dari paha bagian dalam dari seekor sapi limousine pilihan yang diberi makan dengan rumput gajah dan konsentrat pilihan dan dari peternakan berhawa sejuk dan nyaman, tapi cukup hidangkan saja steik itu, dan biarkan kita menikmatinya dengan kepuasan tersendiri.
Sebagai akhir tulisan, seperti disiratkan dalam puisi “Majalah Bekas” yang terpenting adalah yang benar-benar berarti bagi kita sendiri. Di luar hal itu, apapun itu, meskipun kadang menarik, tetapi tetap tidak akan lebih penting dari yang berarti bagi kita. Namun, puisi kerap hadir dengan hal-hal di luar diri kita. Lingkungan kita, makro kosmos kita. Sebab dari sana, tercermin diri kita, mikro kosmos kita. Lagi, dalam puisi itu disebut adanya “pernikahan” yang berarti sebuah titik temu, suatu tautan. Artinya, keberhasilan dari seluruh puisi dalam Pemanggil Air ini akan bisa dirasakan kita jika kita berhasil menemukan adanya titik temu atau tautan itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penyair sebagai Saksi dan/ atau Puisi Sebagai Kesaksian - Ulasan Buku "Nanas Kerang Ungu" Ferdi Afrar

Malaikat Cacat